Dari Sisa Dapur Jadi Harapan: Ember Tumpuk Mandiri di Kp. Gabel

Rawamerta, Karawang — Di tengah hiruk pikuk perubahan zaman, warga Kampung Gabel di Desa Pasirkaliki, Kecamatan Rawamerta, Karawang, menanamkan harapan dari tempat yang tak biasa: sisa dapur. Lewat program “Ember Tumpuk Mandiri”, komunitas ibu-ibu tani dari Kelompok Wanita Tani (KWT) Silih Asih, yang diketuai oleh Hj. Entuk Nuryati, warga asli Karawang, berhasil menyulap limbah organik menjadi kompos, dan menjadikan halaman rumah sebagai ladang pangan keluarga.
Inisiatif ini merupakan bagian dari Program Hibah BIMA Kemdiktisaintek 2025, hasil kolaborasi antara KWT Silih Asih dan tim pengabdian dari Universitas Pasundan (UNPAS). Di bawah pendampingan dosen dan mahasiswa FEB UNPAS, program ini tidak hanya menghadirkan teknologi sederhana, tetapi juga membangun kesadaran berkelanjutan dalam pengelolaan sampah dan kemandirian pangan.
Program ini menjadi salah satu bentuk nyata komitmen Kampus Berdampak, di mana perguruan tinggi hadir langsung di tengah masyarakat, membawa ilmu untuk mengubah kehidupan.
Satu Ember, Seribu Manfaat
Konsepnya sederhana: ember plastik yang disusun bertingkat, masing-masing berfungsi menampung sampah organik, menyaring air lindi (pupuk cair), dan menyimpan kompos padat. Namun dampaknya jauh melampaui bentuknya yang mungil.
“Awalnya bingung juga, ini ember mau dipakai buat apa. Tapi setelah dijelasin dan dicoba, ternyata hasilnya luar biasa. Sekarang saya bisa panen sayur dari pekarangan sendiri,” kata Ibu Enah, salah satu anggota KWT.
Program ini memanfaatkan sisa sayuran, nasi basi, kulit buah, hingga daun-daun kering untuk dikomposkan. Dalam waktu 2–3 minggu, bahan-bahan itu berubah menjadi pupuk organik yang siap digunakan di kebun rumah.
“Pupuknya lebih bagus dari yang beli. Tanaman kangkung saya daunnya jadi lebih hijau dan cepat besar,” tambahnya sambil menunjukkan pot kangkung yang tumbuh subur di sudut halaman.
Edukasi dan Pemberdayaan ala Grameen Bank
Program ini bukan sekadar distribusi alat. Pendekatan yang digunakan mengadopsi prinsip pemberdayaan komunitas ala Grameen Bank, yaitu membangun solidaritas kelompok, menumbuhkan kesadaran kolektif, dan mendorong perubahan dari dalam komunitas itu sendiri.
“Yang kita kuatkan bukan hanya teknologinya, tapi juga komunitasnya. Dengan sistem pertemuan mingguan, ibu-ibu saling berbagi pengalaman, saling belajar, dan saling menyemangati,” ujar Dr. H. Rohmat Sarman, SE., M.Si., dosen FEB UNPAS yang juga menjadi ketua tim pengabdian dalam program ini.
Setiap pekan, anggota KWT berkumpul di balai desa atau rumah warga untuk memantau perkembangan kompos, meninjau hasil panen, dan mendiskusikan tantangan. Pola ini juga membuka ruang baru bagi perempuan desa untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya.
♻️ Menjawab Masalah Sampah Rumah Tangga
Di Karawang, seperti di banyak wilayah lain di Indonesia, sampah rumah tangga menjadi persoalan lingkungan yang krusial. Data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) menunjukkan bahwa sebagian besar sampah berasal dari aktivitas domestik dan didominasi oleh limbah organik.
“Kalau sampah ini dibuang sembarangan, baunya luar biasa dan bisa mencemari lingkungan. Tapi kalau dikomposkan, justru jadi berkah untuk tanah dan tanaman,” ujar Bapak Engkos Koswara, Kepala Desa Pasirkaliki, yang turut mendukung penuh pelaksanaan program ini di wilayahnya.
Melalui program Ember Tumpuk Mandiri, volume sampah organik warga berkurang drastis. Selain meringankan beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA), program ini juga mengurangi risiko polusi air dan udara yang sering timbul akibat praktik pembakaran sampah rumah tangga.
Kemandirian Pangan Skala Rumah Tangga
Salah satu tujuan utama program ini adalah membangun kemandirian pangan keluarga. Dengan adanya pupuk sendiri dan kebun pekarangan, warga bisa menanam kebutuhan dapur harian seperti bayam, kangkung, tomat, dan cabai.
“Sekarang saya tidak beli sayur lagi ke pasar. Tinggal petik di halaman. Hemat dan sehat,” kata Ibu Tati, sambil memperlihatkan polybag berisi selada dan serai.
Program ini juga menginspirasi warga lain untuk menanam bersama. Beberapa rumah di Kp. Gabel bahkan sudah mengembangkan kebun kolektif di lahan tidur milik desa.
Dokumentasi Hidup dari Dapur Warga
Program ini tidak berhenti di pelatihan. Tim pengabdian UNPAS juga membuat media edukasi berupa poster penggunaan ember, label stiker, dan panduan digital yang disebar melalui WhatsApp group warga.
“Gambarnya jelas, tulisannya simpel. Bahkan anak-anak saya ikut bantu buang sisa dapur ke ember sekarang,” ujar Ibu Ika sambil tersenyum.
Salah satu inovasi visual yang diapresiasi warga adalah stiker bergambar yang ditempel di ember, berisi panduan ringkas dan larangan membuang bahan non-organik seperti plastik dan minyak goreng.
️ Apa Kata Warga?
Warga Kp. Gabel menyambut baik program ini. Mereka merasa terlibat, dihargai, dan dilibatkan secara aktif dalam prosesnya.
“Ini bukan bantuan yang cuma datang lalu pergi. Tapi benar-benar ngajak kita berubah bareng-bareng,” ujar Ketua RT setempat.
Sementara itu, Ketua KWT Silih Asih, Ibu Hj.Entuk, mengatakan bahwa kegiatan ini membuat perempuan desa merasa lebih berdaya. “Biasanya kita dianggap cuma urus dapur. Sekarang dari dapur justru kita bisa bantu keluarga dan lingkungan.”
Kesimpulan: Dari Dapur, Menuju Ketahanan Pangan Lokal
Program “Ember Tumpuk Mandiri” di Kp. Gabel membuktikan bahwa inovasi sederhana bisa berdampak luar biasa jika digerakkan dari bawah dan dijalankan bersama. Dengan pendekatan komunitas, edukasi berkelanjutan, dan teknologi yang ramah lingkungan, warga bisa mengubah limbah menjadi peluang.
Inisiatif ini menjadi contoh bahwa ketahanan pangan tidak selalu butuh program besar. Kadang cukup satu ember, satu kebun, dan satu komunitas yang percaya pada perubahan.
Dengan kompos di tangan dan tanaman di pekarangan, harapan tumbuh subur di Kp. Gabel — dari sisa dapur, lahirlah masa depan.
Komentar Terbaru